Selasa, 03 Desember 2013

instrumen yuridis pemerintahan

pendahuluan
Instrumen pemerintahan yang dimaksudkan dalam halam hal ini adalah alat-alat atau sarana-sarana yang digunakan oleh pemerintahan atau administrasi negara dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintaha, pemerintah atau administrasi negara melakukan berbagai tindakan hukum, dengan menggunakan sarana atau alat tulis menulis,sarana transportasi dan komunikasi, gedung-gedung perkantoran, dan lain-lain, yang terhimpun dalam publiek domain atau kepunyaan publik. Di samping itu, pemerintah juga menggunakan berbagai instrumen yuridis dalam menjalankan kegiatan mengatur dan menjalankan urusan pemerintahan dan kemasyarakatan, seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan, praturan kebijakan, prizinan, instrumen hukum keperdataan, dan sebagainya.
          Sebelum menguraikan macam-macam instrumen hukum yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan tindakan pemerintahan, terlebih dahulu disampaikan mengenai struktur norma dalam Hukum Administrasi Negara,  yang dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam memahami instrumen hukum pemerintahan. Berkenan dengan struktur norma Hukum Adminidtrasi Negara ini, H.D van Wijk/Willem Konjinebelt mengatakan sebagai berikut.
‘’hukum materil mengatur perbuatan manusia. Peraturan, norma, di dalam hukum administrasi negara memiliki struktur yang berbeda dibandingkan dengan struktur norma dalam hukum perdata dan pidana. Dalam hukum perdata atau pidana, kita menemukan secara langsung norma mengenai (apa yang diatur dalam hukum tertulis) dalam undang-undang. Dalam hukum administrasi negara struktur norma ditemukan pada berbagai tempat dan dalam dua atau lebih tingkatan;disana kita harus menemukan norma pada tingkatan-tingkatan praturan hukum itu’’

   Norma hukum yang terdapat dalam hukum perdata atau pidana dapat ditemukan dengan mudah dalam pasal tertentu, misalnya ketentuan apa itu pembunuhan atau perjanjian, sementara untuk menemukan norma dalam hukum administrasi negara harus di cari dalam semua praturan perundang-undangan terkait sejak tingkat yang paling tinggi dan bersifat umum-abstrak sampai yang paling rendah yang bersifat individu-konkret. Menurut Indroharto, bahwa dalam suasana hukum atau usaha negara itu kita menghadapi bertingkat-tingkatnya norma hukum yang harus kita perhatikan. Artinya, peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu sejak kita temukan dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan tata usaha negara yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Lebih lanjut indroharto menyebutkan bahwa :
a.       Keseluruhan norma-norma hukum tata usah negara dalam masyarakat itu memiliki struktur bertingkat dari yang sangat umum yang dikandungn dalam Tap MPR, UU, dan sterusnya sampai pada norma yang paling individual dan konkret yang dikandung dalam penetapan tertulis (beschikking) jadi suatu penetapan tertulis itu juga dapat mengandung suatu norma hukum seperti halnya pada suatu peraturan bersifat umum
b.      Pembentukan norma-norma hukum tata usaha negara dalam masyarakat itu tidak hanya dilakukan oleh pembuat undang-undang(kekuasaan legislatif) dan badan-badan peradilan saja tetapi juga oleh aparat pemerintah dalam hal ini badan atau jabatan tata usaha negara.
2. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan merupakan hukum yang in abstracto atau general norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum. Secara teoritis, istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung) mempunyai dua pengertian, yaitu:
1. Peraturan perundang-undangan yang merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik ditingkat pusat maupun daerah.
2. Peraturan perundang-undangan yang merupakan segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Istilah perundang-undangan secara harfiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusian ataupun delegasian undang-undang. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-undangan, maka yang tergolong peraturan perundang-undangan di negara kita ialah undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah daripadanya seperti; Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden (Kepres) yang berisi peraturan, Keputusan Menteri (Kepmen) yang berisi peraturan, dan Keputusan-keputusan lain yang berisi peraturan (Hamid Attamimi, 1992: 3).
Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Peraturan perundang-undangan bersifat umum dan komprehensif
2. Peraturan perundang-undangan bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkritnya
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri.
Sedangkan menurut beberapa undang-undang, peraturan perundang-undangan diartikan sebagai:
1. Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No 5 Tahun 1986 mengartikan peraturan perundang-undangan sebagai semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga mengikat umum.
2. Pasal 1 angka 2 UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengartikan peraturan perundang-undangan sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
Berdasarkan kualifikasi norma hukum diatas, peraturan perundang-undangan bersifat umum-abstrak, yang dicirikan oleh:
1. Tidak hanya berlaku pada saat tertentu;
2. Tidak hanya berlaku pada tempat tertentu;
3. Tidak hanya berlaku pada orang tertentu;
4. Tidak hanya ditujukan pada fakta hukum tertentu, tetapi untuk berbagai fakta hukum yang dapat berulang-ulang.
Dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state) sebagaimana sudah disinggung dalam Bab III, tugas pemerintah tidak hanya terbatas untuk melaksanakan undang-undang yang telah dibuat oleh lembaga legislatif. Dalam perspektif welfare state, pemerintah dibebani kewajiban untuk menyelenggarakan kepentingan umum atau mengupayakan kesejahteraan sosial, yang dalam menyelenggarakan kewajiban itu pemerintah diberi kewenangan untuk campur tangan dalam kehidupan masyarakat, dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum. Bersamaan dengan kewenangan untuk campur tangan tersebut, pemerintah juga diberi kewenangan untuk membuat dan menggunakan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan membuat peraturan perundang-undangan seharusnya menjadi ranah wilayah lembaga legislatif kalau kita berpedoman kepada ajaran Trias Politika, tetapi menurut Bagir Manan (1995: 335) ada beberapa alasan yang menjadi dasar diberikannya kewenangan membuat peraturan perundang-undangan kepada eksekutif (pemerintah), yaitu:
a. Paham pembagian kekuasaan lebih menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan organ yang terdapat dalam ajaran pemisahan kekuasaan. Dengan demikian, fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan.
b. Paham yang memberikan kekuasaan pada negara atau pemerintah untuk mencampuri kehidupan masyarakat, baik sebagai negara kekuasaan atau negara kesejahteraan. Paham ini memerlukan instrumen hukum yang akan memberikan dasar bagi negara atau pemerintah untuk bertindak.
c. Untuk menunjang perubahan masyarakat yang berjalan makin cepat dan kompleks diperlukan percepatan pembentukan hukum. Hal ini mendorong administrasi negara untuk berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
d. Berkembangnya berbagai jenis peraturan perundang-undangan baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah.
3.   Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara
Di Belanda istilah Ketetapan atau Keputusan disebut dengan istilah Beschikking (Van Vollenhoven). Di Indonesia kemudian istilah Beschikking ini ada yang menterjemahkan sebagai ‘Ketetapan’ (Bagir Manan, Sjachran Basah, Indroharto dll), ada juga yang menterjemahkan dengan ‘Keputusan’ (Philipus M. Hadjon, SF. Marbun dll).
Dikalangan para sarjana terdapat perbedaan pendapat dalam mendefenisikan istilah ketetapan (beschikking), menurut J.B.J.M Ten Berge (1996: 156) beschikking didefinisikan sebagai :
1. Keputusan hukum publik yang bersifat konkret dan individual: keputusan itu berasal dari organ pemerintahan yang didasarkan pada kewenangan hukum publik.
2. Dibuat untuk satu atau lebih individu atau berkenaan dengan satu atau lebih perkara atau keadaan.
3. Keputusan itu memberikan suatu kewajiban pada seseorang atau organisasi, memberikan kewenangan atau hak pada mereka
Menurut Utrecht ( 1988: 94), beschikking diartikan sebagai perbuatan hukum publik bersegi satu (yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa). Sedangkan menurut WF. Prins dan R Kosim Adisapoetra (1983: 42) beschikking adalah suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan yang dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan wewenang yang luar biasa.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, tampak ada beberapa unsur yang terdapat dalam beschikking, yaitu:
1. Pernyataan kehendak sepihak
2. Dikeluarkan oleh organ pemerintah
3. Didasarkan pada kewenangan hukum yang bersifat publik
4. Ditujukan untuk hal khusus atau peristiwa kongkret dan individual
5. Dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum
Sedangkan berdasarkan UU No 5 Tahun 1986 jo UU No 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, penetapan (dalam undang-undang itu disebut Keputusan Tata Usaha Negara) diartikan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan definisi tersebut tampak bahwa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
- Penetapan tertulis bukan hanya dilihat dari bentuknya saja tetapi lebih ditekankan kepada isinya, yang berisi kejelasan tentang:
a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;
b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan tersebut; dan
c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa sebuah memo atau nota pun kalau sudah memenuhi ketiga kreteria diatas dapat dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
- Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN. Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun.
- Berisi tindakan Hukum TUN
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN.
- Berdasarkan Peraturan perundang-undangan; yang dimaksud adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum, yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara , baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah yang juga mengikat secara umum (Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
- Bersifat konkret diartikan obyek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Misalnya; Keputusan mengenai Pembongkaran rumah Dewi Setyawati, Ijin Mendirikan Bangunan bagi Komang Sriwati, atau Surat Keputusan Pemberhentian dengan Hormat Ketut Kaplug sebagai Pegawai Negeri. Dengan kata lain wujud dari keputusan tersebut dapat dilihat dengan kasat mata, namun terhadap ketentuan ini ada pengecualian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang berbunyi:
(1) Apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan TUN;
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud;
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dalam ayat (2), maka setelah lewat waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
- Bersifat individual, diartikan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari satu orang, maka tiap-tiap individu harus dicantumkan namanya dalam keputusan tersebut.
- Bersifat final, diartikan keputusan tersebut sudah definitif , keputusan yang tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain, karenanya keputusan ini dapat menimbulkan akibat hukum.
- Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti:
a. Menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada (declaratoir);
b. Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (constitutief)
c. 1. Menolak untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada.
2. Menolak untuk menimbulkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (Amrah Muslimin, 1985: 118-119)
4. Peraturan Kebijaksanaan
Keberadaan peraturan kebijaksanaan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas (vrijebevoegdheid) dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freies ermessen. Freies Ermessen berasal dari kata Frei yang artinya bebas, lepas, tidak terikat dan merdeka, Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga dan memperkirakan. Sehingga Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkasn sesuatu.
Dalam kaitannya dengan pemerintahan Freies Ermessen diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang (Marcus Lukman, 1996: 205)
Meskipun pemberian Freies Ermessen kepada pemerintah merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state, tetapi dalam kerangka negara hukum, Freies Ermessen tidak dapat digunakan tanpa batas. Atas dasar itu, Sjachran Basah (1992: 151) mengemukakan unsur-unsur Freies Ermessen dalam suatu negara hukum, yaitu;
a. Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik;
b. Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara;
c. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum
d. Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri
e. Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba
f. Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan YME maupun secara hukum .
Disamping itu penggunaan Freies Ermessen tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaidah hukum positif) dan hanya ditujukan demi kepentingan umum.
Freies Ermessen ini kemudian menjadi asal muasal lahirnya peraturan kebijaksanaan, yang mengandung dua aspek, yaitu:
1. Kebebasan menilai yang bersifat obyektif, yaitu kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya;
2. Kebebasan menilai yang bersifat subyektif, yaitu kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki administrasi negara itu dilaksanakan.
Menurut Philipus M. Hadjon (1994:152), peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “naar buiten gebracht schricftelijk beleid”, yaitu menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis.
Sebagaimana pembuatan dan penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu harus memerhatikan beberapa persyaratan, pembuatan dan penerapan peraturan kebijaksanaan juga harus memerhatikan beberapa persyaratan. Menurut Indroharto, perbuatan peraturan kebijaksanaan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresionari yang dijabarkan itu
2. Tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat
3. Harus dipersiapkan dengan cermat
4. Isi dari kebijaksanaan harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari warga yang terkena peraturan itu
5. Tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan mengenai kebijaksanaan yang akan ditempuh harus jelas
6. Harus memenuhi syarat kepastian hukum material
Menurut Van Kreveld, J.H (1983: 9-10) ciri-ciri dari peraturan kebijaksanaan adalah sebagai berikut:
1. Peraturan itu tidak ditemukan dasarnya dalam undang-undang
2. Peraturan itu bisa berbentuk tertulis, bisa juga berbentuk tidak tertulis
3. Peraturan itu memberikan petunjuk secara umum
Secara umum fungsi dari peraturan kebijaksanaan adalah sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan sehingga tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan, sering disebut dengan istilah “perundang-undangan semu”. Fungsi tersebut kalau dirinci adalah sebagai berikut:
1. Sebagai sarana pengaturan yang melengkapi, menyempurnakan, dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan perundang-undangan;
2. Sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vakum peraturan perundang-undangan
3. Sebagai sarana pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak, benar, dan adil dalam peraturan perundang-undangan
4. Sebagai sarana pengaturan untuk mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan jaman
5. Bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi di bidang pemerintahan dan pembangunan yang bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaruan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi
6.   Perizinan
Tidaklah mudah memberikan definisi apa yang dimaksud dengan izin, hal ini disebabkan karena antara para pakar tidak terdapat persesuaian paham, masing-masing melihat dari sisi yang berlainan terhadap obyek yang didefinisikan. Sukar memberikan definisi bukan berarti tidak terdapat definisi, bahkan ditemukan sejumlah definisi yang beragam, diantaranya:
a. Menurut Sjachran Basah (1995:3), izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Menurut Bagir Manan (1995:8), izin merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.
Disamping itu ada beberapa istilah yang hampir sama dengan izin, yaitu sebagai berikut:
1. Dispensasi; yaitu tindakan pemerintah yang menyebabkan suatu peraturan undang-undang menjadi tidak berlaku bagi sesuatu hal yang istimewa.
2. Konsesi; yaitu suatu izin yang berhubungan dengan pekerjaan yang besar, dimana kepentingan umum terlibat erat sekali sehingga sebenarnya pekerjaan itu menjadi tugas dari pemerintah, tetapi oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada konsesionaris (pemegang ijin)
3. Lisensi; yaitu suatu izin yang memberikan hak untuk menyelenggarakan suatu perusahaan.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disebutkan bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dari pengertian tersebut, ada beberapa unsur dalam perizinan, yaitu sebagai berikut:
1. Berupa instrumen yuridis dalam bentuk KTUN;
2. Dibuat berdasarkan wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau berdasarkan diskresionare power;
3. Dikeluarkan oleh organ pemerintah;
4. Ditujukan pada peristiwa konkret;
5. Telah memenuhi prosedur dan persyaratan tertentu.
Dari unsur-unsur tersebut terlihat bahwa izin merupakan instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkret. Sebagai suatu instrumen, izin berfungsi selaku ujung tombak dari instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang masyarakat sehingga terwujud masyarakat adil dan makmur. Tujuan tersebut, dapat dirinci sebagai berikut:
1. Untuk mengendalikan aktifitas-aktifitas tertentu;
2. Untuk mencegah bahaya bagi lingkungan;
3. Untuk melindungi obyek-obyek tertentu;
4. Untuk membagi benda-benda yang sedikit; dan
5. Untuk memberikan pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktifitas-aktifitasnya.
7. Instrumen Hukum Keperdataan
Pemerintah dalam melakukan kegiatannya sehari-hari tampil dengan dua kedudukan, yaitu sebagai wakil dari badan hukum (pelaku hukum keperdataan) dan wakil dari jabatan pemerintahan (pelaku hukum publik). Selaku pelaku hukum keperdataan yang melakukan berbagai perbuatan hukum keperdataan seperti mengikatkan perjanjian jual beli, sewa menyewa, pemborongan dan sebagainya yang dijelmakan dalam kualitas badan hukum. Dalam posisi ini kedudukan pemerintah tidak ada bedanya dengan seseorang atau badan hukum perdata pada umumnya, yaitu diatur dan tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum keperdataan.
Penggunaan instrumen hukum keperdataan ini adalah untuk mengusahakan kesejahteraan (bestuurszorg), dimana pemerintah terlibat dengan kegiatan kemasyarakatan dalam berbagai dimensi sejalan dengan tuntutan perkembangan kemasyarakatan.
Namun demikian, penggunaan instrumen hukum keperdataan oleh pemerintah ini perlu dibatasi, yaitu:
1. Pemerintah tidak dapat melakukan hubungan keperdataan yang berhubungan dengan hukum kekeluargaan;
2. Pemerintah tidak boleh membeli tanah untuk dijadikan hak milik;
3. Pemerintah tidak diperkenankan melakukan perbuatan hukum keperdataan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dilarang oleh peraturan perundang-undangan
Hubungan hukum dalam bidang keperdataan bersifat dua pihak atau lebih (meerzijdige), bersandar pada prinsip otonomi dan kebebasan berkontrak (contractsvrijheid) dalam arti kemerdekaan atau kemandirian penuh bagi subyek hukum untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum, serta iktikad baik dalam berbagai persetujuan, yang menunjukkan kesetaraan antarpihak tanpa salah satunya memiliki kedudukan khusus dan kekuatan memaksa terhadap pihak lain. Atas dasar ini pemerintah hanya dapat mensejajarkan diri dengan seseorang atau badan hukum perdata dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum publik, bukan dalam kapasitasnya selaku wakil jabatan pemerintahan yang memiliki kedudukan istimewa.
Bentuk-bentuk perjanjian yang bisa dijalankan pemerintah dengan pihak lain adalah:
1. Perjanjian perdata biasa; contoh: jual beli, sewa-menyewa dan lain-lain
Perbuatan keperdataan ini dilakukan karena pemerintah memerlukan berbagai sarana dan prasarana untuk menjalankan administrasi pemerintahan, seperti: kebutuhan alat tulis menulis yang harus dibeli, membeli tanah untuk perkantoran, perumahan dinas dan lain sebagainya.
2. Perjanjian perdata dengan syarat-syarat standar, contoh: kontrak adhesie
Pemerintah dapat pula menggunakan instrumen hukum keperdataan untuk membuat perjanjian dengan pihak swasta dalam rangka melakukan tugas-tugas tertentu, misalnya tugas-tugas atau pekerjaan yang tidak sepenuhnya dapat diselenggarakan sendiri oleh pemerintah. Bentuk dari perjanjian ini dapat berupa kontrak adhesie, yaitu suatu perjanjian yang seluruhnya telah disiapkan secara sepihak hingga pihak lawan berkontraknya tidak ada pilihan lain kecuali menerima atau menolaknya.
3. Perjanjian mengenai kewenangan publik
Perjanjian mengenai kewenangan publik adalah perjanjian antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan warga masyarakat dan yang diperjanjikan adalah mengenai cara badan atau pejabat tata usaha negara tersebut menggunakan wewenang pemerintahannya.
4. Perjanjian mengenai kebijaksanaan pemerintahan.
Kewenangan luas yang dimiliki pemerintah atas dasar freies ermessen, yang kemudian melahirkan kebijaksanaan dimungkinkan pula dijalankan dengan menggunakan perjanjian. Dengan kata lain, pemerintah dapat menjadikan kewenangan luas atau kebijaksanaan yang dimilikinya sebagai obyek dalam perjanjian. Perjanjian seperti ini dikenal dengan perjanjian kebijaksanaan (beleidsovereenkomst), yaitu perbuatan hukum yang menjadikan kebijaksanaan publik sebagai obyek perjanjian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar