Instrumen pemerintahan yang dimaksudkan
dalam halam hal ini adalah alat-alat atau sarana-sarana yang digunakan oleh
pemerintahan atau administrasi negara dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dalam
menjalankan tugas-tugas pemerintaha, pemerintah atau administrasi negara
melakukan berbagai tindakan hukum, dengan menggunakan sarana atau alat tulis
menulis,sarana transportasi dan komunikasi, gedung-gedung perkantoran, dan
lain-lain, yang terhimpun dalam publiek
domain atau kepunyaan publik. Di samping itu, pemerintah juga menggunakan
berbagai instrumen yuridis dalam menjalankan kegiatan mengatur dan menjalankan
urusan pemerintahan dan kemasyarakatan, seperti peraturan perundang-undangan,
keputusan-keputusan, praturan kebijakan, prizinan, instrumen hukum keperdataan,
dan sebagainya.
Sebelum menguraikan macam-macam
instrumen hukum yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan tindakan
pemerintahan, terlebih dahulu disampaikan mengenai struktur norma dalam Hukum
Administrasi Negara, yang dapat
dijadikan sebagai alat bantu dalam memahami instrumen hukum pemerintahan.
Berkenan dengan struktur norma Hukum Adminidtrasi Negara ini, H.D van
Wijk/Willem Konjinebelt mengatakan sebagai berikut.
‘’hukum materil mengatur perbuatan manusia. Peraturan, norma, di dalam
hukum administrasi negara memiliki struktur yang berbeda dibandingkan dengan
struktur norma dalam hukum perdata dan pidana. Dalam hukum perdata atau pidana,
kita menemukan secara langsung norma mengenai (apa yang diatur dalam hukum
tertulis) dalam undang-undang. Dalam hukum administrasi negara struktur norma
ditemukan pada berbagai tempat dan dalam dua atau lebih tingkatan;disana kita
harus menemukan norma pada tingkatan-tingkatan praturan hukum itu’’
Norma
hukum yang terdapat dalam hukum perdata atau pidana dapat ditemukan dengan
mudah dalam pasal tertentu, misalnya ketentuan apa itu pembunuhan atau
perjanjian, sementara untuk menemukan norma dalam hukum administrasi negara
harus di cari dalam semua praturan perundang-undangan terkait sejak tingkat
yang paling tinggi dan bersifat umum-abstrak
sampai yang paling rendah yang bersifat individu-konkret.
Menurut Indroharto, bahwa dalam suasana hukum atau usaha negara itu kita
menghadapi bertingkat-tingkatnya norma hukum yang harus kita perhatikan.
Artinya, peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu sejak kita temukan
dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan
keputusan-keputusan tata usaha negara yang satu dengan yang lain saling
berkaitan. Lebih lanjut indroharto menyebutkan bahwa :
a. Keseluruhan
norma-norma hukum tata usah negara dalam masyarakat itu memiliki struktur
bertingkat dari yang sangat umum yang dikandungn dalam Tap MPR, UU, dan
sterusnya sampai pada norma yang paling individual dan konkret yang dikandung
dalam penetapan tertulis (beschikking) jadi suatu penetapan tertulis itu juga
dapat mengandung suatu norma hukum seperti halnya pada suatu peraturan bersifat
umum
b. Pembentukan
norma-norma hukum tata usaha negara dalam masyarakat itu tidak hanya dilakukan
oleh pembuat undang-undang(kekuasaan legislatif) dan badan-badan peradilan saja
tetapi juga oleh aparat pemerintah dalam hal ini badan atau jabatan tata usaha
negara.
2. Peraturan
Perundang-undangan
Peraturan merupakan
hukum yang in abstracto atau general norm yang sifatnya mengikat
umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum.
Secara teoritis, istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau
gesetzgebung) mempunyai dua pengertian, yaitu:
1. Peraturan
perundang-undangan yang merupakan proses pembentukan/proses membentuk
peraturan-peraturan negara, baik ditingkat pusat maupun daerah.
2. Peraturan
perundang-undangan yang merupakan segala peraturan negara, yang merupakan hasil
pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah.
Istilah
perundang-undangan secara harfiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan
dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun
peraturan lebih rendah yang merupakan atribusian ataupun delegasian
undang-undang. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-undangan,
maka yang tergolong peraturan perundang-undangan di negara kita ialah
undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah daripadanya
seperti; Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden (Kepres) yang berisi
peraturan, Keputusan Menteri (Kepmen) yang berisi peraturan, dan
Keputusan-keputusan lain yang berisi peraturan (Hamid Attamimi, 1992: 3).
Peraturan
perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Peraturan
perundang-undangan bersifat umum dan komprehensif
2. Peraturan
perundang-undangan bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi
peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkritnya
3. Ia memiliki
kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri.
Sedangkan
menurut beberapa undang-undang, peraturan perundang-undangan diartikan sebagai:
1. Penjelasan
Pasal 1 angka 2 UU No 5 Tahun 1986 mengartikan peraturan perundang-undangan
sebagai semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan
oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di
tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik
ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga mengikat umum.
2. Pasal 1
angka 2 UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
mengartikan peraturan perundang-undangan sebagai peraturan tertulis yang
dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara
umum.
Berdasarkan
kualifikasi norma hukum diatas, peraturan perundang-undangan bersifat umum-abstrak,
yang dicirikan oleh:
1. Tidak hanya
berlaku pada saat tertentu;
2. Tidak hanya
berlaku pada tempat tertentu;
3. Tidak hanya
berlaku pada orang tertentu;
4. Tidak hanya
ditujukan pada fakta hukum tertentu, tetapi untuk berbagai fakta hukum yang
dapat berulang-ulang.
Dalam konsep
negara kesejahteraan (welfare state) sebagaimana sudah disinggung dalam
Bab III, tugas pemerintah tidak hanya terbatas untuk melaksanakan undang-undang
yang telah dibuat oleh lembaga legislatif. Dalam perspektif welfare state,
pemerintah dibebani kewajiban untuk menyelenggarakan kepentingan umum atau
mengupayakan kesejahteraan sosial, yang dalam menyelenggarakan kewajiban itu
pemerintah diberi kewenangan untuk campur tangan dalam kehidupan masyarakat,
dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum. Bersamaan dengan kewenangan
untuk campur tangan tersebut, pemerintah juga diberi kewenangan untuk membuat
dan menggunakan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan
membuat peraturan perundang-undangan seharusnya menjadi ranah wilayah lembaga
legislatif kalau kita berpedoman kepada ajaran Trias Politika, tetapi menurut
Bagir Manan (1995: 335) ada beberapa alasan yang menjadi dasar diberikannya
kewenangan membuat peraturan perundang-undangan kepada eksekutif (pemerintah),
yaitu:
a. Paham
pembagian kekuasaan lebih menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan
organ yang terdapat dalam ajaran pemisahan kekuasaan. Dengan demikian, fungsi
pembentukan peraturan perundang-undangan tidak harus terpisah dari fungsi
penyelenggaraan pemerintahan.
b. Paham yang
memberikan kekuasaan pada negara atau pemerintah untuk mencampuri kehidupan
masyarakat, baik sebagai negara kekuasaan atau negara kesejahteraan. Paham ini
memerlukan instrumen hukum yang akan memberikan dasar bagi negara atau
pemerintah untuk bertindak.
c. Untuk
menunjang perubahan masyarakat yang berjalan makin cepat dan kompleks
diperlukan percepatan pembentukan hukum. Hal ini mendorong administrasi negara
untuk berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
d.
Berkembangnya berbagai jenis peraturan perundang-undangan baik ditingkat pusat
maupun di tingkat daerah.
3. Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha
Negara
Di Belanda
istilah Ketetapan atau Keputusan disebut dengan istilah Beschikking (Van
Vollenhoven). Di Indonesia kemudian istilah Beschikking ini ada yang
menterjemahkan sebagai ‘Ketetapan’ (Bagir Manan, Sjachran Basah, Indroharto
dll), ada juga yang menterjemahkan dengan ‘Keputusan’ (Philipus M. Hadjon, SF.
Marbun dll).
Dikalangan para
sarjana terdapat perbedaan pendapat dalam mendefenisikan istilah ketetapan (beschikking),
menurut J.B.J.M Ten Berge (1996: 156) beschikking didefinisikan sebagai
:
1. Keputusan
hukum publik yang bersifat konkret dan individual: keputusan itu berasal dari
organ pemerintahan yang didasarkan pada kewenangan hukum publik.
2. Dibuat untuk
satu atau lebih individu atau berkenaan dengan satu atau lebih perkara atau
keadaan.
3. Keputusan
itu memberikan suatu kewajiban pada seseorang atau organisasi, memberikan
kewenangan atau hak pada mereka
Menurut Utrecht
( 1988: 94), beschikking diartikan sebagai perbuatan hukum publik
bersegi satu (yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu
kekuasaan istimewa). Sedangkan menurut WF. Prins dan R Kosim Adisapoetra (1983:
42) beschikking adalah suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam
bidang pemerintahan yang dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan
wewenang yang luar biasa.
Berdasarkan
beberapa definisi tersebut, tampak ada beberapa unsur yang terdapat dalam beschikking,
yaitu:
1. Pernyataan kehendak sepihak
2. Dikeluarkan oleh organ pemerintah
3. Didasarkan
pada kewenangan hukum yang bersifat publik
4. Ditujukan
untuk hal khusus atau peristiwa kongkret dan individual
5. Dengan
maksud untuk menimbulkan akibat hukum
Sedangkan
berdasarkan UU No 5 Tahun 1986 jo UU No 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, penetapan (dalam undang-undang itu disebut Keputusan Tata Usaha
Negara) diartikan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret,
individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
Berdasarkan
definisi tersebut tampak bahwa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:
- Penetapan
tertulis bukan hanya dilihat dari bentuknya saja tetapi lebih ditekankan kepada
isinya, yang berisi kejelasan tentang:
a. Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;
b. Maksud serta
mengenai hal apa isi tulisan tersebut; dan
c. Kepada siapa
tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
Hal tersebut
membawa konsekuensi bahwa sebuah memo atau nota pun kalau sudah memenuhi ketiga
kreteria diatas dapat dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
- Dikeluarkan
oleh Badan atau Pejabat TUN
Sebagai suatu Keputusan
TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis
pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dalam rangka
pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya mengenai apa dan
siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat,
disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah
Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Badan atau
Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan
atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila
yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa
saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap
sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN. Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan
adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan
merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa
saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam
lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada
dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan
pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks
sebagai subjek di Peratun.
- Berisi
tindakan Hukum TUN
Sebagaimana
telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu
bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian
selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu
adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau
menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk
dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN
itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan
suatu akibat hukum TUN.
- Berdasarkan
Peraturan perundang-undangan; yang dimaksud adalah semua peraturan yang
bersifat mengikat secara umum, yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat
bersama Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara , baik ditingkat pusat maupun
tingkat daerah yang juga mengikat secara umum (Penjelasan Pasal 1 angka 2
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang dan mengikat secara umum.
- Bersifat
konkret diartikan obyek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak abstrak,
tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Misalnya; Keputusan mengenai
Pembongkaran rumah Dewi Setyawati, Ijin Mendirikan Bangunan bagi Komang
Sriwati, atau Surat Keputusan Pemberhentian dengan Hormat Ketut Kaplug sebagai Pegawai
Negeri. Dengan kata lain wujud dari keputusan tersebut dapat dilihat dengan
kasat mata, namun terhadap ketentuan ini ada pengecualian sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang berbunyi:
(1) Apabila
Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan TUN;
(2) Jika suatu
Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan
jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud
telah lewat, maka Badan atau Pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak
mengeluarkan keputusan yang dimaksud;
(3) Dalam hal
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu
sebagaimana dalam ayat (2), maka setelah lewat waktu empat bulan sejak
diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan dianggap telah
mengeluarkan keputusan penolakan.
- Bersifat
individual, diartikan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan
untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju. Kalau yang dituju
itu lebih dari satu orang, maka tiap-tiap individu harus dicantumkan namanya
dalam keputusan tersebut.
- Bersifat
final, diartikan keputusan tersebut sudah definitif , keputusan yang tidak lagi
memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain, karenanya
keputusan ini dapat menimbulkan akibat hukum.
- Menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
Menimbulkan
Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum
yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum,
maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan
akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu
Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus
mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada,
seperti:
a. Menguatkan
suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada (declaratoir);
b. Menimbulkan
suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (constitutief)
c. 1. Menolak
untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada.
2. Menolak untuk
menimbulkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (Amrah Muslimin, 1985:
118-119)
4. Peraturan
Kebijaksanaan
Keberadaan
peraturan kebijaksanaan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas (vrijebevoegdheid)
dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freies ermessen. Freies
Ermessen berasal dari kata Frei yang artinya bebas, lepas, tidak
terikat dan merdeka, Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga
dan memperkirakan. Sehingga Freies Ermessen berarti orang yang memiliki
kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkasn sesuatu.
Dalam kaitannya
dengan pemerintahan Freies Ermessen diartikan sebagai salah satu sarana
yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi
negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada
undang-undang (Marcus Lukman, 1996: 205)
Meskipun
pemberian Freies Ermessen kepada pemerintah merupakan konsekuensi logis
dari konsepsi welfare state, tetapi dalam kerangka negara hukum, Freies
Ermessen tidak dapat digunakan tanpa batas. Atas dasar itu, Sjachran Basah
(1992: 151) mengemukakan unsur-unsur Freies Ermessen dalam suatu negara
hukum, yaitu;
a. Ditujukan
untuk menjalankan tugas-tugas servis publik;
b. Merupakan
sikap tindak yang aktif dari administrasi negara;
c. Sikap tindak
itu dimungkinkan oleh hukum
d. Sikap tindak itu diambil atas
inisiatif sendiri
e. Sikap tindak itu dimaksudkan
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba
f. Sikap tindak itu dapat
dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan YME maupun secara hukum .
Disamping itu penggunaan Freies Ermessen tidak boleh
bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaidah hukum positif) dan hanya
ditujukan demi kepentingan umum.
Freies Ermessen ini kemudian menjadi asal muasal
lahirnya peraturan kebijaksanaan, yang mengandung dua aspek, yaitu:
1. Kebebasan menilai yang bersifat
obyektif, yaitu kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang
dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya;
2. Kebebasan menilai yang bersifat
subyektif, yaitu kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara bagaimana dan
kapan wewenang yang dimiliki administrasi negara itu dilaksanakan.
Menurut Philipus M. Hadjon (1994:152), peraturan
kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara
yang bertujuan “naar buiten gebracht schricftelijk beleid”, yaitu
menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis.
Sebagaimana pembuatan dan penerapan peraturan
perundang-undangan, yaitu harus memerhatikan beberapa persyaratan, pembuatan
dan penerapan peraturan kebijaksanaan juga harus memerhatikan beberapa
persyaratan. Menurut Indroharto, perbuatan peraturan kebijaksanaan harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Tidak boleh
bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresionari yang
dijabarkan itu
2. Tidak boleh
nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat
3. Harus dipersiapkan dengan cermat
4. Isi dari kebijaksanaan harus
memberikan kejelasan yang cukup mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari
warga yang terkena peraturan itu
5. Tujuan-tujuan dan dasar-dasar
pertimbangan mengenai kebijaksanaan yang akan ditempuh harus jelas
6. Harus memenuhi syarat kepastian
hukum material
Menurut Van Kreveld, J.H (1983: 9-10) ciri-ciri dari
peraturan kebijaksanaan adalah sebagai berikut:
1. Peraturan
itu tidak ditemukan dasarnya dalam undang-undang
2. Peraturan
itu bisa berbentuk tertulis, bisa juga berbentuk tidak tertulis
3. Peraturan
itu memberikan petunjuk secara umum
Secara umum
fungsi dari peraturan kebijaksanaan adalah sebagai bagian dari operasional
penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan sehingga tidak dapat mengubah ataupun
menyimpangi peraturan perundang-undangan, sering disebut dengan istilah
“perundang-undangan semu”. Fungsi
tersebut kalau dirinci adalah sebagai berikut:
1. Sebagai sarana pengaturan yang
melengkapi, menyempurnakan, dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada
peraturan perundang-undangan;
2. Sebagai
sarana pengaturan bagi keadaan vakum peraturan perundang-undangan
3. Sebagai
sarana pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara
patut, layak, benar, dan adil dalam peraturan perundang-undangan
4. Sebagai
sarana pengaturan untuk mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang
sudah ketinggalan jaman
5. Bagi
kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi di bidang pemerintahan dan
pembangunan yang bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaruan sesuai dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi
6. Perizinan
Tidaklah mudah memberikan definisi apa yang dimaksud dengan
izin, hal ini disebabkan karena antara para pakar tidak terdapat persesuaian
paham, masing-masing melihat dari sisi yang berlainan terhadap obyek yang
didefinisikan. Sukar memberikan definisi bukan berarti tidak terdapat
definisi, bahkan ditemukan sejumlah definisi yang beragam, diantaranya:
a. Menurut
Sjachran Basah (1995:3), izin adalah perbuatan hukum administrasi negara
bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasarkan
persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan.
b. Menurut
Bagir Manan (1995:8), izin merupakan suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan
tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.
Disamping itu
ada beberapa istilah yang hampir sama dengan izin, yaitu sebagai berikut:
1. Dispensasi;
yaitu tindakan pemerintah yang menyebabkan suatu peraturan undang-undang
menjadi tidak berlaku bagi sesuatu hal yang istimewa.
2. Konsesi;
yaitu suatu izin yang berhubungan dengan pekerjaan yang besar, dimana
kepentingan umum terlibat erat sekali sehingga sebenarnya pekerjaan itu menjadi
tugas dari pemerintah, tetapi oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya
kepada konsesionaris (pemegang ijin)
3. Lisensi;
yaitu suatu izin yang memberikan hak untuk menyelenggarakan suatu perusahaan.
Dari beberapa
pendapat diatas, dapat disebutkan bahwa izin adalah perbuatan pemerintah
bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada
peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dari pengertian
tersebut, ada beberapa unsur dalam perizinan, yaitu sebagai berikut:
1. Berupa
instrumen yuridis dalam bentuk KTUN;
2. Dibuat
berdasarkan wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau
berdasarkan diskresionare power;
3. Dikeluarkan
oleh organ pemerintah;
4. Ditujukan
pada peristiwa konkret;
5. Telah
memenuhi prosedur dan persyaratan tertentu.
Dari
unsur-unsur tersebut terlihat bahwa izin merupakan instrumen yuridis yang
digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi para warga agar mau mengikuti cara
yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkret. Sebagai suatu instrumen,
izin berfungsi selaku ujung tombak dari instrumen hukum sebagai pengarah,
perekayasa, dan perancang masyarakat sehingga terwujud masyarakat adil dan
makmur. Tujuan tersebut, dapat dirinci sebagai berikut:
1. Untuk
mengendalikan aktifitas-aktifitas tertentu;
2. Untuk
mencegah bahaya bagi lingkungan;
3. Untuk
melindungi obyek-obyek tertentu;
4. Untuk
membagi benda-benda yang sedikit; dan
5. Untuk
memberikan pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktifitas-aktifitasnya.
7. Instrumen
Hukum Keperdataan
Pemerintah
dalam melakukan kegiatannya sehari-hari tampil dengan dua kedudukan, yaitu sebagai
wakil dari badan hukum (pelaku hukum keperdataan) dan wakil dari jabatan
pemerintahan (pelaku hukum publik). Selaku pelaku hukum keperdataan yang
melakukan berbagai perbuatan hukum keperdataan seperti mengikatkan perjanjian
jual beli, sewa menyewa, pemborongan dan sebagainya yang dijelmakan dalam
kualitas badan hukum. Dalam posisi ini kedudukan pemerintah tidak ada bedanya
dengan seseorang atau badan hukum perdata pada umumnya, yaitu diatur dan tunduk
pada ketentuan-ketentuan hukum keperdataan.
Penggunaan
instrumen hukum keperdataan ini adalah untuk mengusahakan kesejahteraan (bestuurszorg),
dimana pemerintah terlibat dengan kegiatan kemasyarakatan dalam berbagai
dimensi sejalan dengan tuntutan perkembangan kemasyarakatan.
Namun demikian,
penggunaan instrumen hukum keperdataan oleh pemerintah ini perlu dibatasi,
yaitu:
1. Pemerintah
tidak dapat melakukan hubungan keperdataan yang berhubungan dengan hukum
kekeluargaan;
2. Pemerintah
tidak boleh membeli tanah untuk dijadikan hak milik;
3. Pemerintah
tidak diperkenankan melakukan perbuatan hukum keperdataan yang bertentangan
dengan kepentingan umum atau dilarang oleh peraturan perundang-undangan
Hubungan hukum
dalam bidang keperdataan bersifat dua pihak atau lebih (meerzijdige),
bersandar pada prinsip otonomi dan kebebasan berkontrak (contractsvrijheid)
dalam arti kemerdekaan atau kemandirian penuh bagi subyek hukum untuk melakukan
atau tidak melakukan perbuatan hukum, serta iktikad baik dalam berbagai
persetujuan, yang menunjukkan kesetaraan antarpihak tanpa salah satunya
memiliki kedudukan khusus dan kekuatan memaksa terhadap pihak lain. Atas dasar
ini pemerintah hanya dapat mensejajarkan diri dengan seseorang atau badan hukum
perdata dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum publik, bukan dalam
kapasitasnya selaku wakil jabatan pemerintahan yang memiliki kedudukan
istimewa.
Bentuk-bentuk
perjanjian yang bisa dijalankan pemerintah dengan pihak lain adalah:
1. Perjanjian
perdata biasa; contoh: jual beli, sewa-menyewa dan lain-lain
Perbuatan keperdataan
ini dilakukan karena pemerintah memerlukan berbagai sarana dan prasarana untuk
menjalankan administrasi pemerintahan, seperti: kebutuhan alat tulis menulis
yang harus dibeli, membeli tanah untuk perkantoran, perumahan dinas dan lain
sebagainya.
2. Perjanjian
perdata dengan syarat-syarat standar, contoh: kontrak adhesie
Pemerintah
dapat pula menggunakan instrumen hukum keperdataan untuk membuat perjanjian
dengan pihak swasta dalam rangka melakukan tugas-tugas tertentu, misalnya
tugas-tugas atau pekerjaan yang tidak sepenuhnya dapat diselenggarakan sendiri
oleh pemerintah. Bentuk dari perjanjian ini dapat berupa kontrak adhesie,
yaitu suatu perjanjian yang seluruhnya telah disiapkan secara sepihak hingga
pihak lawan berkontraknya tidak ada pilihan lain kecuali menerima atau
menolaknya.
3. Perjanjian
mengenai kewenangan publik
Perjanjian
mengenai kewenangan publik adalah perjanjian antara badan atau pejabat tata
usaha negara dengan warga masyarakat dan yang diperjanjikan adalah mengenai
cara badan atau pejabat tata usaha negara tersebut menggunakan wewenang
pemerintahannya.
4. Perjanjian
mengenai kebijaksanaan pemerintahan.
Kewenangan luas
yang dimiliki pemerintah atas dasar freies ermessen, yang kemudian
melahirkan kebijaksanaan dimungkinkan pula dijalankan dengan menggunakan
perjanjian. Dengan kata lain, pemerintah dapat menjadikan kewenangan luas atau
kebijaksanaan yang dimilikinya sebagai obyek dalam perjanjian. Perjanjian
seperti ini dikenal dengan perjanjian kebijaksanaan (beleidsovereenkomst),
yaitu perbuatan hukum yang menjadikan kebijaksanaan publik sebagai obyek
perjanjian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar