Rabu, 04 Desember 2013

perbuatan pemerintah



A.    Macam-macam Perbuatan Pemerintah
Dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan kepentingan umum, pemerintah banyak melakukan kegiatan atau perbuatan-perbuatan. Aktivita atau pembuatan itu pada garis besarnya dibedakan kedalam dua golongan, yaitu : [1]
1.      Rechtshandelingen (golongan perbuatan hukum)
2.      Feitelijke handelingen (golongan yang bukan perbuatan hukum)
Dari kedua golongan perbuatan tersebut yang penting bagi Hukum Administrasi Negara adalah golongan perbuatan hukum (Rechts handelingen), sebab perbuatan tersebut langsung menimbulkan akibat hukum tertentu bagi Hukum Administrasi Negara, sedangkan golongan perbuatan yang bukan perbuatan hukum tidak relevan (tidak penting).
            Perbuatan pemerintah yang termasuk golongan perbuatan hukum dapat berupa
a.       Perbuatan hukum menurut hukum privat (sipil).
b.      Perbuatan hukum menurut hukum publik.

B.     Perbuatan Hukum Menurut Hukum Privat

Administrasi Negara sering juga mengadakan hubungan-hubungan hukum dengan subyek hukum-subyek hukum lain berdasarkan hukum privat seperti sewa menyewa, jual beli, dan sebagainya. Berkaitan dengan ini timbul pertanyaan, dapatkah administrasi negara itu mengadakan hubungan hukumberdasarkan hukum privat ? Atas pertanyaan ini timbul dua pendapat.
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa administrasi negara dalam menjalankan tugas pemerintahan tidak dapat menggunakan hukum privat. Pendapat ini dikemukakan oleh prof.  Scholten.  Alasannya karena sifat hukum privat itu mengatur hubungan hukum yang merupakan hukum untuk bolehnya tindakan atas kehendak satu pihak. Untuk administrasi negara tindakan satu pihak ini mungkin dilakukan dalam rangka melindungi kepentingan umum.
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa administrasi negara dalam menjalankan tugasnya dalam beberapa hal dapatjuga menggunakan hukum privat. Tetapi untuk menyelesaikan suatu soal khusus dalam lapangan administrasi negara telah tersedia peraturan-peraturan hukum publik, maka administrasi negara harus menggunakan hukum publik itu dan tidak dapat menggunakan hukum privat. Pendpat ini dikemukakan oleh prof. krabbe, kranenburg vegting, Donner dan Huart.

C.     Perbuatan Hukum Menurut Hukum Publik

Perbatan hukum menurut hukum publik ini ada dua macam :
1.      Perbuatan Hukum Publik yang Bersegi Satu (eenzidjige publiekrechtelijke handeling)
Beberapa sarjana seperti S. Sybenga hanya mengakui adanya perbuatan hukum publik yan bersegi satu, artinya hukum publik itu hanya merupakan kehendak satu pihak saja yaitu pemerintah. Menurut mereka tidak ada perbuatan hukum publik yang bersegi dua, tidak ada perjanjian, misalnya, yang diatur oleh hukum publik. Jika pemerintah mengadakan perjanjian dengan pihak swasta maka perjanjian itu senantiasa menggunakan hukum privat (perdata). Perbuatan tersebut merupakan perbuatan hukum bersegi dua karena diadakan oleh kehendak kedua belah pihak dengan sukarela. Itulah sebabnya tidak ada perjanjian menurut hukum publik, sebab hubungan hukum yang diatur oleh hukum publik hanya berasal dari satu pihak saja yakni pemerintah dengan cara menentukan kehendak sendiri.

2.      Perbuatan Hkum Publik yang Bersegi Dua (tweezijdige publiekrectelijke handeling)
Van der Pot, Kranenberg-Vegting, Wirada dan Doner mengakui adanya hukum publik yang bersegidua atau adanya perjanjian menurut hukum publik. Mereka member contoh tenang adanya “kortverband contract” (perjanjian kerja jangka pendek) yang diadakan seorang swasta sebagai pekerja dengan pihak pemerintah sebagai pihak pemberi pekerjaan. [2]
Pada kortverband contract ada persesuian kehendak antara pekerja dengan pemberi pekerjaan, dan oerbuatan hukum itu diatur oleh hukum istimewa yaitu peraturan hukum publik sehingga tidak ditemui pengaturannya didalam hukum privat (biasa). Dalam kaitan ini bisa diconthkan misalnya tenaga-tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia untuk masa waktu tertentu adalah merupakan kortverband contract yang kemudian dituangkan dalam satu beschiking.

D.    Arti Tindakan Pemerintah
Menurut Van Vollenhoven yang dimaksudkan dengan ‘tindakan pemerintahan’ (Bestuurshandeling) adalah pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa tinggi dan rendahan. Sedangkan menurut Komisi Van Poelje dalam laporannya tahun 1972 yang dimaksudkan dengan ‘publiek rechtelijke handeling’ atau tindakan dalam hukum publik adalah tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Romeijn mengemukakan bahwa tindak pemerintahan adalah tiap-tiap tindakan atau perbuatan dari satu alat administrasi negara (bestuurs organ) yang mencakup juga perbuatan atau hal-hal yang berada diluar lapangan hukum tata pemerintahan, seperti keamanan, peradilan dan lain-lain dengan maksud menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi.

E.     Penentuan Tugas dan Kewenangan Perundang-undangan oleh Pemerintah
Menurut Donner di samping melakukan tindakan-tindakan hukum dalam menjalankan fungsi pemerintahan administrasi negara juga melakukan pekerjaan menentukan tugas ‘taakstelling’ ataupun tugas politik, sekalipun tugas itu bukan merupakan tugas utamanya. Selain itu administrasi negara juga diberi tugas untuk membentuk undang-undang dan peraturan-peraturan yang sebenarnya menjadi tugas legislatif. Pemberian tugas pembuatan peraturan-peraturan itu menurut Donner diberikan berdasarkan lembaga ‘delegasi’ atau pelimpahan tugas kepada administrasi negara yang biasa disebut dengan ‘deleasi perundang-undangan’ (delegatie van wetgeving). Dalam Bab IV buku ini sudah dikemukakan pendapat Utrecht tentang kewenangan administrasi negara dalam bidang perundang-undangan melalui kewenangan atas inisiatifnya sendiri atau melalui ‘delegasi’ perundang-undangan.
·          Kewenangan atas inisiatif sendiri
Kewenangan atas inisiatif sendiri berarti bahwa (Presiden) tanpa harus dengan persetujuan DPR diberi kewenangan untuk membuat peraturan perundangan yang derajatnya setingkat dengan Undang-undang bila keadaan terpaksa. Dalam keadaan biasa (tidak terpaksa) kewenangan membuat Undang-undang (kekuasaan legislatif) dilakukan oleh Presiden bersama dengan DPR seperti dengan jelas ditentukan dalam pasal 5 dan pasal 20 UUD 1945. Tetapi jika timbul keadaan genting (gawat) yang memaksa, Presiden diberi kewenangan untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang (peperpu). Dasar teoretis dari kewenangan inisiatif dalam keadaan genting ini ialah “salus populi superme lex” yang berarti keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Peperpu ini menurut ketetapan MPRS No. XX tahun 1966 derajatnya setingkat dengan Undang-undang. Kewenangan Presiden untuk membuat Peperpu (sebagai kewenangan atas inisiatif sendiri) ini tercantum didalam pasal 22 ayat (1) UUD yang berbunyi,  “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa presiden berhak menetapkan peraturan pemerintahan sebagai pengganti undang-undang”. Karena produk legislasi Peperpu ini dibuat dalam keadaan darurat dan dengan prosedur yang luar biasa maka paling lambat pada masa persidangan DPR berikut sesudah berlaku, Peperpu tersebut harus disampaikan kepada DPR untuk dimintakan persetujuan (pasal 22 ayat 2) dan diberi bentuk Undang-udang. Dan jika Peperpu tersebut disetujui oleh DPR untuk terus diberlakukan maka didalam nomor UU-nya harus diberi kode PRP. Misalnya UU No. 56/PRP/1960. Sebaliknya jika DPR tidak menyetujui Peperpu tersebut harus dicabut (pasal 22 ayat 3).

·         Kewenangan atas delegasi
Kewenangan atas delegasi berarti kewenangan untu membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya dibawah undang-undang yang berisi masalah untuk mengatur ketentuan satu undang-undang peraturan perundang-undangan yang dibuat karena delegasi ini pada dasarnya memang dapat dibuat oleh presiden sendiri sesuai dengan ketentuan pasal 5 (2) UUD 1945 yang berbunyi : “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untu menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Selain Peraturan Pemerintah pihak pemerintah dapat juga mengeluarkan bentuk peraturan perundangan lainnya yang derajatnya lebih rendah dari Peraturan Pemerintah.
Kewenangan untuk membuat peraturan perundangan yang dibawah PP itu bukan merupakan delegasi langsung dari UUD 1945 tetapi diberikan berdasarkan ketetapan MPRS No. XX tahun 1966. Peraturan perundang-undangan yang derajatnya berada dibawah PP tersebut tidak harus dibuat oleh Presiden tetapi bisa dibuat oleh Presiden tetapi bisa dibuat oleh Menteri maupun Pemerintah Daerah sesuai dengan lingkup kekuasaannya masing-masing. Menurut Ketetapan MPRS No. XX tahun 1966 peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah daripada Peraturan Pemerintah ialah Keputusan Presiden dan Peraturan Pelaksanaan lainnya (seperti Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri).

Kewenangan inisiatif ini bisa melahirkan peraturan yang setingkat UU yaitu peperpu, sedangkan kewenangan atas delegasi bisa melahikan peraturan yang derajatnya dibawah UU yaitu peraturan pemerintah. Dasar dari kewenangan administrasi negara untuk membuat peraturan atas inisiatifnya sendiri (menurut Donner kewenangan atas delegasi itu) untuk Indonesia adalah pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa presiden berhak menetapkan peraturan pemerintahan sebagai pengganti undang-undang”.
            Peperpu yang dibuat oleh presiden berdasarkan ketentuan pasal 22 ayat (1) tersebut kemudian harus diberi bentuk UU dengan dimintakan persetujuan DPR pada persidangan berikutnya. Jika DPR tidak menyetujui untuk dijadikan UU maka Peperpu itu harus dicabut. Keharusan pemberian bentuk UU ini tidak dapat dilepaskan dari azas negara hukum yang mengharuskan agar setiap tindakan pemerintah selalu berdasarkan UU dan peraturan perundangan yang sah. Sedangkan UU di Indonesia menurut pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) harus dibuat oleh presiden bersama DPR. Kemudian pasal 5 ayat (2) memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah guna menjalankan undang-undang. Jadi pasal 22 ayat (1) dan pasal 5 ayat (2) memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membuat peraturan perundangan baik atas inisiatifnya sendiri (yaitu peperpu) maupun atas delegasi (peraturan pemerintah).

F.      Cara-cara Pelaksanaan Tindakan Pemerintah
Menurut E. Utrecht tindakan pemerintah itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :
1.      Yang bertindak adalah administrasi negara itu sendiri
2.      Yang bertindak adalah subjek hukum/badan hukum lain yang tidak termasuk administrasi negara, dan dilakukan berdasarkan sesuatu hubungan istimewa, seperti badan hukum-badan hukum yang diberi monopoli.
3.      Yang bertindak adalah subjek hukum lain yang tidak termasuk administrasi negara yang menjalankan pekerjaan berdasarkan suatu konsesi/izin dari pemerintah. Artinya pekerjaan tersebut diserahkan oleh pemerintah kepada badan swasta untuk menyelenggarakan kepentingan umum, seperti Damri, Pelni, Shell, Caltec dan sebagainya.
4.      Yang bertindak ialah subjek hukum lain yang tidak termasuk administrasi negara yang diberi subsidi oleh pemerintah, seperti yayasan-yayasan pendidikan.
5.      Yang bertindak adalah pemerintah bersama-sama dengan subjek hukum lain yang bukan administrasi negara dimana kedua belah pihak tergabung dalam kerjasama, seperti Bank Industri Niaga (dimana pemerintah bukan pemegang saham tetapi didalam dewan direksinya ada wakil-wakil pemerintah).
6.      Yang bertindak adalah yayasan yang didirikan/diawasi oleh pemerintah, seperti yayasan Supersemar, yayasan Veteran dan sebagainya.
7.      Yang bertindak adalah koperasi yang didirikan/diawasi oleh pemerintah.
8.      Yang bertindak adalah Perusahaan Negara seperti PLN
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam tindakan pemerintah yang merupakan tindakan hukum dalam rangka menyelenggarakan kepentingan umum, yaitu :
1.      Dengan membebankan kewajiban pada organ-organ itu untuk menyelenggarakan kepentingan umum.
2.      Dengan mengeluarkan undang-undang yang bersifat melarang atau menyeluruh yang ditujukan pada tiap-tiap warganegara untuk melakukan perbuatan (tingkah laku) yang berlaku demi kepentingan umum.
3.      Memberikan perintah-perintah atau ketetapan-ketetapan yang bersifat memberikan beban.
4.      Memberikan subsidi-subsidi atau bantuan-bantuan kepada swasta.
5.      Memberikan kedudukan hukum (rechtstatus) kepada seseorang sesuai dengan kepentingannya, sehingga orang tersebut mempunyai hak dan kewajiban.
6.      Melakukan pengawasan terhadap pekerjaan swasta.
7.      Bekerjasama dengan perusahaan lain dalam bentuk-bentuk yang ditentukan untuk kepentingan umum.
8.      Mengadakan perjanjian dengan warganegara berdasarkan hal-hal yang diatur dalam hukum.


[1] SF. Marbun, Moh Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1987, halaman 68
[2] Ibid, halaman 67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar