Kamis, 26 Desember 2013

DELAPAN HAL PENTING DALAM PENYUSUNAN PLEDOI


DELAPAN HAL PENTING DALAM PENYUSUNAN PLEDOI
Hal- hal yang harus di pertimbangkan dalam membuat pledoi
1.      Eksepsi , berkaitan dengan kewenagan absoluTe dan kewenangan relatif dari pengadilan yang bersangkutan , penyidikan yang dilakukan tidak oleh penyidik yang ssebenarnya,terhadap pokok perkara yang dinialai dakwaan yang di buat penuntut umum kabur ,saat penyidikan tdk di dampingi pembela,dan terjadi error in parson.
2.      Pendahuluan
 yang harus di pertimbangkan dalam membuat pendahuluan yaitu
ü  Basa-basi yaitu ucapan terimakasih kepada hakim dan sbgnya
ü  Kalau hakim kira-kira ada intervensi pihak ke2 maka yang harus dilakukan adalah memmengingatkan hakim bahwa agar memutuskan perkara dengan seadil-adilnya.

3.      Tinjauwan atas dakwaan , yaitu mengenai pengenaan pasal yang di ajukan oleh kejaksaantentang pengenaan pasal yang berdiri 2sekaligus
4.      Fakta – fakta yang terungkap dalam persidangan
ü Keterangan saksi hanya di tulis inti sari saja
ü Keternagan saksi di tulis lengkap dalam pledoi, apabila penuntut umum     tidak      secara jujur menulis keterangan saksi,
5.      Bab tinjuan yuridis  terkait masalah pengenaan pasal contoh pasal 378 tatapi pembela mengatakan buakan pasal 378 melainkan perkara wanprestasi.
6.      Fakta – fakta yang terungkap dalam persidangan . yaitu menghubugkan unsur dalam rumusan pasal yang di dakwakan dengan fakta yang terjadi dalam persidangn
7.      Tinjawan terhadap tuntatan  maksudnya disini adalah tuntutan yang di dakwaakan oleh penuntut sudah sesuai dengan apa yang terungkapa dalam persidangan
8.      Kesimpulan ,,,
Yang berisi tentang permohonan dari pembela agar klienya di bebaskan dan kalau dalam hal terbukti maka hal yang harus di lakukan adalah memita hakim memutus perkara seadil – adilnya.




Rabu, 25 Desember 2013

asas hukum kontrak


BAB I
PENDAHULUN
A.           pengertian
Hukum perjanjian adalah merupakan bagian dari hukum perikatan, ahli hukum menyamakan antara hukum kontrak dan hukum perjanjian kareana kontrak sendiri merupakan perjanjian tertulis , sedangkan perjanjian bisa berbentuk  lisan maupun tulisan , jadi hukum kontrak bisa diartikan sebagai pengembangan dari hukum perjanjian yang kemudian harus dituangakan dalam bentuk tulisan yang memang dipersiapkan untuk pembuktian dimasa yang akan datang. Pembagain antara hukum perjanjian dan hukum kontrak dalam BW( burgelijik wet book) yang dikenal dalam BW atau KUH Perdata adalah perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang –undang, atau lebih jelasnya adalah sebagai berikut
Perikatan yang lahir dari perjanjian , sebelum kita lebih jauh membahas masalah perjanjian maka alangkah lebih baiknya kalau kita mengerti terlebih dahulu yang namanya  perjanjian  istilah perjanjian merupakan     terjemahan dari kata ovreenkomst (bahasa belanda)atau contract ( inggris ) ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian perjajian   
1.     Teori lama
teori lama ini dapat dilihat dalam pasal 1313 KUH Perdata yanng berbunyi
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang pihak atau lebih mengikatakan dirinya terhadap suatu orang atau lebih .
jika  kita lihat  didalam rumusan pasal 1313 maka kita akan menglami kesulitan karena kurang jelasnya rumusan yang terkandung didalam rumusan pasal 1313 tersebut.adapun berbagai kekurangan yang ada adalah :1. Didalam rumusan tersebut tidak dijelaskan secara tersurat dan mendetail apa yang dinamakan dengan kata sepaka, 2. Tidak jelas karena setiap perbuatan bisa dikatakan sebagai perjanjian ,3 bersifat dualisme .[1]
akan tetapi menurut penulis yang kurang jelas dari rumusan pasal 1313 adalah kurang jelasnya yang dinamkan dengan kata perjanjian, apakah suatu kata kesepkatan saja  akan bisa menimbulkan perjanjian atau segala perbuatan manusia merupakan perjanjan ataukah perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yang bisa dinilai dengan uang yang bisa dikatakan sebagai perjanjian ?
Maka dari uraiyan diatas maka berbagai permasalahan diatas akan dijawab dengan doktrin ahli hukum yang menurut teori lama, yang dianamakan peranjian adalah perbuatan hukum berdasarkan ata sepakat untuk menimbulkan akiban hukut hukum .
2.   Teori baru yang dikemukakan  oleh van Dunne yang diartikan dengan  perjanjian adalah
Suatu hubungan hukum antra dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat yang menimbulkan akibat hukum.
Menurut teori  baru ini adalah tidak hanya melihat prjanjian semata akan tetapi menurut teori baru ini lebih condong memandang perjnjian dari awal sebelum terjadinya kata sepakat dan teori baru  ini memberikan sedikit penerangan karena dalam teori baru ini memperlihatkan bahwa yang dinamakan perjanjian adalah suatu hubungan hukum,hubungan hukum yang dimaksud adalah suatu perbuatan hukum yangt dapat meimbulkan akibat hukum.
Sedangkan menurut penulis pribadi yang dianamakan perjanjian adalah suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum yang satu dan subyek hukum lainya yang dapat dinilai dengan uang yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Hak dan kewajiaban yang dimaksud adalah pihak debitur mempunyai kewajiaba  untuk memenuhi prestasinya sedangkan pihak kreditur mempunyai hak untuk memperoleh prestasi, sedangkan yang dimaksud dengan prestasi adalah suatu yang menjadi isi dari perjanjian yang telah dibuat oleh kedua belah pihak yang mempunyai sifat mengikat kedua pihak yang membuat perjanjian tersebut . prestasi dapat digologkan menjadi 3
1.            Memberikan sesuatu
2.            Melakukan sesuat/berbuat sesuatu
3.            Tidak berbuat sesuatu
Kemudian teori tersebut mempunyai tiga tahapan sebelu terjadianya suatu perjanjian adapun tahapan adapun tahapan trsebut adalah sebagai berikut
1.  tahapan procontractual  yaitu adanya penwaran dan penerimaan dari kedua belah pihak , penawaran yang dimaksud adalah suatu proses negosiasi yang dilakukan oleh para phak yang berkaitan lansung dengan perjanjian yang dimaksudkan
2.  tahapan contractual adalah suatu pencapaiyan kesesuaiyan kehendak antara kedua belah piahak. persesuayaiyan kehendak tersebut kemudian di saksikan dan tauangkan dalam  bentuk tulisan
3.  tahapan post contractual yaitu tahapan pelaksnaaan contrak tersebut.
A.           Sifat hukum perjanjian
Hukum perjanjia adalah bersifat terbuka artinya semua orang diberikan kebebasan untuk merancang,menentukan dan membuat kontrak tanpa adanya pemabatasan asalakan tidak melanggar ketentuan- ketentuan yang telah diatur daam buku III KUH perdata tentang perikatan ,dan dipetegas dalam ketentuan pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlku sebagai undang –undang bagi mereka yang membuatnya.
Dari penjelasan diatas maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa kebebasan untuk ,merancang ,menentukan dan membuat perjanjian itu tidaklah mutlak melainkan adanya pemabatasan yang diberikan oleh undang –undang serta kebiasaan/kepatutan dan norama - norma yang baik dalam  masyarakat
B.            ASAS – ASAS HUKUM PERJANIAN
v    Asas konsensulisme sering diartikan sebagai suatu asas yang mencerminkan suatu keadan dimana bertemunya dua kehendak yang berbeda yang kemudian disatukan dalam bentuk kesepakatan kedua belah pihak yang berarti bahwa suatu perjanjian akan lahir apabila sudah tercapainya /bertemunya kata sepakat yang  diucapakan oleh kedua belah piahak baik kreditur maupun debitur dan kemudian
yang menjadi dasar pembentukan kontrak dalam bentuk tulisan serta disaksiakan oleh orang lain atau piahak ketiga.asas ini berlaku hanya untuk kontrak konsensual sedangkan untuk kontrak formal dan kontrak riil asas ini tidak berlaku, asas ini dapat diliahat pada pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata
v    Asas kebebasan berkontrak 
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang sangat penting dalam hukum perjanjian , karena tanpa adanya suatu asas kebebasan berkontrak maka perjanjian yang dapat diciptakan adalah hanya terpaku pada Buku III KUH perdata , yang senyatanya bahwa hukum tentang periakatan tidak diatur dalam aturan lain melainkan hanya diatur dalam pasal 1338 ayat (1) kuh perdata yang berbunyi semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlku sebagai undang –undang bagi mereka yang membuatnya.
v    Asas mengikatnya kontrak (pacta sunt servanda)
Setiap perjanjian yang dibuat oleh orang yang membuatnya maka mereka harus menaati isi dari perjanjian  tersebut guna menjaga kepastian hukum dari perjanjian tersebut ,yang telah diimplemetasikan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlku sebagai undang –undang bagi mereka yang membuatnya. Isi rumusan dalam pasal 1338 tersebut mempunyai unsur bahwa perjanjian tersebut sudah menjadi undang-undang maka apabila undang-undang tersebut dilanggar maka terjadilah wanprestasi yang berarti Suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya.
v    Asas itikad baik
Merupakan salah satu asas dalam hukum perjanjian yang diatur dalam pasal 1338 ayat (3) bahwa bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan /didasarkan atas itikad baik . semua orang oleh hukum dianggap beritikad baik sebelum dia terbuti melangar itikad baik tersebut.



[1][1] Pengantar hukum perdata. Salim Hs,S.H.MS.

Sabtu, 07 Desember 2013

curhan hati surya bakti

Aku bosan dengan hidup ini tuhan ,semua hal yang akul kulakukan hanya mencari,mencari dan mencari yang namanya materi, tanpa pernah sedikitpun aku mengigat mu, aku bosan dengan dunia ini tuhan ,dunia yang penuh kenistaan, dan kemunafikan , harus kah aku pergi dengan membawa hanya selembar kain kapan dan segudang dosa ,haruskah aku memberi disaat akupun sendiri tak mempunayainya, mungkin hanya didunia yang abadi  aku bisa mendaptakan ketenangan tanpa harus meliahat penderitaaan, ya tuhan jiaka kau izinkan, aku ingin kemabali kepadamu , ya tuhan jika kau perkenankan biarkanlah raga ini kembali ketempat asalnya , dari tanah dan kembali ketanah pula  ditemani dengan cacing – cacing yang menggeruguti raga yang penuh dengan noda dan dosa ini ,tuhan  aku ingin disisimu ,bersamamu dan selalu mengigatmu disat suka dan duka , kesenangan dunia yang sementara ini membuat ku terlena , keindahan  dunia yang fana ini membuatku terpesona, yang ahirnya membuatku tak menggapmu ada. Tuhan aku ingin pergi untuk selamanya meninggalkan segala kenistaan dan kemunafikan yang ada di dunia ini, meninggalkan segala lika - liku dunia , hanya untuk  mencari kebahagian yang tak terhingga di alam sana. Akan tetapi suatu hal yang ingin kulakukan untuk  yang terahir kalinya, yaitu membuat orang lain bisa  bahagia.....................................................................................................................
                                                                                    

SURYA BAKTI

Rabu, 04 Desember 2013

perbuatan pemerintah



A.    Macam-macam Perbuatan Pemerintah
Dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan kepentingan umum, pemerintah banyak melakukan kegiatan atau perbuatan-perbuatan. Aktivita atau pembuatan itu pada garis besarnya dibedakan kedalam dua golongan, yaitu : [1]
1.      Rechtshandelingen (golongan perbuatan hukum)
2.      Feitelijke handelingen (golongan yang bukan perbuatan hukum)
Dari kedua golongan perbuatan tersebut yang penting bagi Hukum Administrasi Negara adalah golongan perbuatan hukum (Rechts handelingen), sebab perbuatan tersebut langsung menimbulkan akibat hukum tertentu bagi Hukum Administrasi Negara, sedangkan golongan perbuatan yang bukan perbuatan hukum tidak relevan (tidak penting).
            Perbuatan pemerintah yang termasuk golongan perbuatan hukum dapat berupa
a.       Perbuatan hukum menurut hukum privat (sipil).
b.      Perbuatan hukum menurut hukum publik.

B.     Perbuatan Hukum Menurut Hukum Privat

Administrasi Negara sering juga mengadakan hubungan-hubungan hukum dengan subyek hukum-subyek hukum lain berdasarkan hukum privat seperti sewa menyewa, jual beli, dan sebagainya. Berkaitan dengan ini timbul pertanyaan, dapatkah administrasi negara itu mengadakan hubungan hukumberdasarkan hukum privat ? Atas pertanyaan ini timbul dua pendapat.
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa administrasi negara dalam menjalankan tugas pemerintahan tidak dapat menggunakan hukum privat. Pendapat ini dikemukakan oleh prof.  Scholten.  Alasannya karena sifat hukum privat itu mengatur hubungan hukum yang merupakan hukum untuk bolehnya tindakan atas kehendak satu pihak. Untuk administrasi negara tindakan satu pihak ini mungkin dilakukan dalam rangka melindungi kepentingan umum.
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa administrasi negara dalam menjalankan tugasnya dalam beberapa hal dapatjuga menggunakan hukum privat. Tetapi untuk menyelesaikan suatu soal khusus dalam lapangan administrasi negara telah tersedia peraturan-peraturan hukum publik, maka administrasi negara harus menggunakan hukum publik itu dan tidak dapat menggunakan hukum privat. Pendpat ini dikemukakan oleh prof. krabbe, kranenburg vegting, Donner dan Huart.

C.     Perbuatan Hukum Menurut Hukum Publik

Perbatan hukum menurut hukum publik ini ada dua macam :
1.      Perbuatan Hukum Publik yang Bersegi Satu (eenzidjige publiekrechtelijke handeling)
Beberapa sarjana seperti S. Sybenga hanya mengakui adanya perbuatan hukum publik yan bersegi satu, artinya hukum publik itu hanya merupakan kehendak satu pihak saja yaitu pemerintah. Menurut mereka tidak ada perbuatan hukum publik yang bersegi dua, tidak ada perjanjian, misalnya, yang diatur oleh hukum publik. Jika pemerintah mengadakan perjanjian dengan pihak swasta maka perjanjian itu senantiasa menggunakan hukum privat (perdata). Perbuatan tersebut merupakan perbuatan hukum bersegi dua karena diadakan oleh kehendak kedua belah pihak dengan sukarela. Itulah sebabnya tidak ada perjanjian menurut hukum publik, sebab hubungan hukum yang diatur oleh hukum publik hanya berasal dari satu pihak saja yakni pemerintah dengan cara menentukan kehendak sendiri.

2.      Perbuatan Hkum Publik yang Bersegi Dua (tweezijdige publiekrectelijke handeling)
Van der Pot, Kranenberg-Vegting, Wirada dan Doner mengakui adanya hukum publik yang bersegidua atau adanya perjanjian menurut hukum publik. Mereka member contoh tenang adanya “kortverband contract” (perjanjian kerja jangka pendek) yang diadakan seorang swasta sebagai pekerja dengan pihak pemerintah sebagai pihak pemberi pekerjaan. [2]
Pada kortverband contract ada persesuian kehendak antara pekerja dengan pemberi pekerjaan, dan oerbuatan hukum itu diatur oleh hukum istimewa yaitu peraturan hukum publik sehingga tidak ditemui pengaturannya didalam hukum privat (biasa). Dalam kaitan ini bisa diconthkan misalnya tenaga-tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia untuk masa waktu tertentu adalah merupakan kortverband contract yang kemudian dituangkan dalam satu beschiking.

D.    Arti Tindakan Pemerintah
Menurut Van Vollenhoven yang dimaksudkan dengan ‘tindakan pemerintahan’ (Bestuurshandeling) adalah pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa tinggi dan rendahan. Sedangkan menurut Komisi Van Poelje dalam laporannya tahun 1972 yang dimaksudkan dengan ‘publiek rechtelijke handeling’ atau tindakan dalam hukum publik adalah tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Romeijn mengemukakan bahwa tindak pemerintahan adalah tiap-tiap tindakan atau perbuatan dari satu alat administrasi negara (bestuurs organ) yang mencakup juga perbuatan atau hal-hal yang berada diluar lapangan hukum tata pemerintahan, seperti keamanan, peradilan dan lain-lain dengan maksud menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi.

E.     Penentuan Tugas dan Kewenangan Perundang-undangan oleh Pemerintah
Menurut Donner di samping melakukan tindakan-tindakan hukum dalam menjalankan fungsi pemerintahan administrasi negara juga melakukan pekerjaan menentukan tugas ‘taakstelling’ ataupun tugas politik, sekalipun tugas itu bukan merupakan tugas utamanya. Selain itu administrasi negara juga diberi tugas untuk membentuk undang-undang dan peraturan-peraturan yang sebenarnya menjadi tugas legislatif. Pemberian tugas pembuatan peraturan-peraturan itu menurut Donner diberikan berdasarkan lembaga ‘delegasi’ atau pelimpahan tugas kepada administrasi negara yang biasa disebut dengan ‘deleasi perundang-undangan’ (delegatie van wetgeving). Dalam Bab IV buku ini sudah dikemukakan pendapat Utrecht tentang kewenangan administrasi negara dalam bidang perundang-undangan melalui kewenangan atas inisiatifnya sendiri atau melalui ‘delegasi’ perundang-undangan.
·          Kewenangan atas inisiatif sendiri
Kewenangan atas inisiatif sendiri berarti bahwa (Presiden) tanpa harus dengan persetujuan DPR diberi kewenangan untuk membuat peraturan perundangan yang derajatnya setingkat dengan Undang-undang bila keadaan terpaksa. Dalam keadaan biasa (tidak terpaksa) kewenangan membuat Undang-undang (kekuasaan legislatif) dilakukan oleh Presiden bersama dengan DPR seperti dengan jelas ditentukan dalam pasal 5 dan pasal 20 UUD 1945. Tetapi jika timbul keadaan genting (gawat) yang memaksa, Presiden diberi kewenangan untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang (peperpu). Dasar teoretis dari kewenangan inisiatif dalam keadaan genting ini ialah “salus populi superme lex” yang berarti keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Peperpu ini menurut ketetapan MPRS No. XX tahun 1966 derajatnya setingkat dengan Undang-undang. Kewenangan Presiden untuk membuat Peperpu (sebagai kewenangan atas inisiatif sendiri) ini tercantum didalam pasal 22 ayat (1) UUD yang berbunyi,  “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa presiden berhak menetapkan peraturan pemerintahan sebagai pengganti undang-undang”. Karena produk legislasi Peperpu ini dibuat dalam keadaan darurat dan dengan prosedur yang luar biasa maka paling lambat pada masa persidangan DPR berikut sesudah berlaku, Peperpu tersebut harus disampaikan kepada DPR untuk dimintakan persetujuan (pasal 22 ayat 2) dan diberi bentuk Undang-udang. Dan jika Peperpu tersebut disetujui oleh DPR untuk terus diberlakukan maka didalam nomor UU-nya harus diberi kode PRP. Misalnya UU No. 56/PRP/1960. Sebaliknya jika DPR tidak menyetujui Peperpu tersebut harus dicabut (pasal 22 ayat 3).

·         Kewenangan atas delegasi
Kewenangan atas delegasi berarti kewenangan untu membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya dibawah undang-undang yang berisi masalah untuk mengatur ketentuan satu undang-undang peraturan perundang-undangan yang dibuat karena delegasi ini pada dasarnya memang dapat dibuat oleh presiden sendiri sesuai dengan ketentuan pasal 5 (2) UUD 1945 yang berbunyi : “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untu menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Selain Peraturan Pemerintah pihak pemerintah dapat juga mengeluarkan bentuk peraturan perundangan lainnya yang derajatnya lebih rendah dari Peraturan Pemerintah.
Kewenangan untuk membuat peraturan perundangan yang dibawah PP itu bukan merupakan delegasi langsung dari UUD 1945 tetapi diberikan berdasarkan ketetapan MPRS No. XX tahun 1966. Peraturan perundang-undangan yang derajatnya berada dibawah PP tersebut tidak harus dibuat oleh Presiden tetapi bisa dibuat oleh Presiden tetapi bisa dibuat oleh Menteri maupun Pemerintah Daerah sesuai dengan lingkup kekuasaannya masing-masing. Menurut Ketetapan MPRS No. XX tahun 1966 peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah daripada Peraturan Pemerintah ialah Keputusan Presiden dan Peraturan Pelaksanaan lainnya (seperti Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri).

Kewenangan inisiatif ini bisa melahirkan peraturan yang setingkat UU yaitu peperpu, sedangkan kewenangan atas delegasi bisa melahikan peraturan yang derajatnya dibawah UU yaitu peraturan pemerintah. Dasar dari kewenangan administrasi negara untuk membuat peraturan atas inisiatifnya sendiri (menurut Donner kewenangan atas delegasi itu) untuk Indonesia adalah pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa presiden berhak menetapkan peraturan pemerintahan sebagai pengganti undang-undang”.
            Peperpu yang dibuat oleh presiden berdasarkan ketentuan pasal 22 ayat (1) tersebut kemudian harus diberi bentuk UU dengan dimintakan persetujuan DPR pada persidangan berikutnya. Jika DPR tidak menyetujui untuk dijadikan UU maka Peperpu itu harus dicabut. Keharusan pemberian bentuk UU ini tidak dapat dilepaskan dari azas negara hukum yang mengharuskan agar setiap tindakan pemerintah selalu berdasarkan UU dan peraturan perundangan yang sah. Sedangkan UU di Indonesia menurut pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) harus dibuat oleh presiden bersama DPR. Kemudian pasal 5 ayat (2) memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah guna menjalankan undang-undang. Jadi pasal 22 ayat (1) dan pasal 5 ayat (2) memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membuat peraturan perundangan baik atas inisiatifnya sendiri (yaitu peperpu) maupun atas delegasi (peraturan pemerintah).

F.      Cara-cara Pelaksanaan Tindakan Pemerintah
Menurut E. Utrecht tindakan pemerintah itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :
1.      Yang bertindak adalah administrasi negara itu sendiri
2.      Yang bertindak adalah subjek hukum/badan hukum lain yang tidak termasuk administrasi negara, dan dilakukan berdasarkan sesuatu hubungan istimewa, seperti badan hukum-badan hukum yang diberi monopoli.
3.      Yang bertindak adalah subjek hukum lain yang tidak termasuk administrasi negara yang menjalankan pekerjaan berdasarkan suatu konsesi/izin dari pemerintah. Artinya pekerjaan tersebut diserahkan oleh pemerintah kepada badan swasta untuk menyelenggarakan kepentingan umum, seperti Damri, Pelni, Shell, Caltec dan sebagainya.
4.      Yang bertindak ialah subjek hukum lain yang tidak termasuk administrasi negara yang diberi subsidi oleh pemerintah, seperti yayasan-yayasan pendidikan.
5.      Yang bertindak adalah pemerintah bersama-sama dengan subjek hukum lain yang bukan administrasi negara dimana kedua belah pihak tergabung dalam kerjasama, seperti Bank Industri Niaga (dimana pemerintah bukan pemegang saham tetapi didalam dewan direksinya ada wakil-wakil pemerintah).
6.      Yang bertindak adalah yayasan yang didirikan/diawasi oleh pemerintah, seperti yayasan Supersemar, yayasan Veteran dan sebagainya.
7.      Yang bertindak adalah koperasi yang didirikan/diawasi oleh pemerintah.
8.      Yang bertindak adalah Perusahaan Negara seperti PLN
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam tindakan pemerintah yang merupakan tindakan hukum dalam rangka menyelenggarakan kepentingan umum, yaitu :
1.      Dengan membebankan kewajiban pada organ-organ itu untuk menyelenggarakan kepentingan umum.
2.      Dengan mengeluarkan undang-undang yang bersifat melarang atau menyeluruh yang ditujukan pada tiap-tiap warganegara untuk melakukan perbuatan (tingkah laku) yang berlaku demi kepentingan umum.
3.      Memberikan perintah-perintah atau ketetapan-ketetapan yang bersifat memberikan beban.
4.      Memberikan subsidi-subsidi atau bantuan-bantuan kepada swasta.
5.      Memberikan kedudukan hukum (rechtstatus) kepada seseorang sesuai dengan kepentingannya, sehingga orang tersebut mempunyai hak dan kewajiban.
6.      Melakukan pengawasan terhadap pekerjaan swasta.
7.      Bekerjasama dengan perusahaan lain dalam bentuk-bentuk yang ditentukan untuk kepentingan umum.
8.      Mengadakan perjanjian dengan warganegara berdasarkan hal-hal yang diatur dalam hukum.


[1] SF. Marbun, Moh Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1987, halaman 68
[2] Ibid, halaman 67

Selasa, 03 Desember 2013

instrumen yuridis pemerintahan

pendahuluan
Instrumen pemerintahan yang dimaksudkan dalam halam hal ini adalah alat-alat atau sarana-sarana yang digunakan oleh pemerintahan atau administrasi negara dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintaha, pemerintah atau administrasi negara melakukan berbagai tindakan hukum, dengan menggunakan sarana atau alat tulis menulis,sarana transportasi dan komunikasi, gedung-gedung perkantoran, dan lain-lain, yang terhimpun dalam publiek domain atau kepunyaan publik. Di samping itu, pemerintah juga menggunakan berbagai instrumen yuridis dalam menjalankan kegiatan mengatur dan menjalankan urusan pemerintahan dan kemasyarakatan, seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan, praturan kebijakan, prizinan, instrumen hukum keperdataan, dan sebagainya.
          Sebelum menguraikan macam-macam instrumen hukum yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan tindakan pemerintahan, terlebih dahulu disampaikan mengenai struktur norma dalam Hukum Administrasi Negara,  yang dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam memahami instrumen hukum pemerintahan. Berkenan dengan struktur norma Hukum Adminidtrasi Negara ini, H.D van Wijk/Willem Konjinebelt mengatakan sebagai berikut.
‘’hukum materil mengatur perbuatan manusia. Peraturan, norma, di dalam hukum administrasi negara memiliki struktur yang berbeda dibandingkan dengan struktur norma dalam hukum perdata dan pidana. Dalam hukum perdata atau pidana, kita menemukan secara langsung norma mengenai (apa yang diatur dalam hukum tertulis) dalam undang-undang. Dalam hukum administrasi negara struktur norma ditemukan pada berbagai tempat dan dalam dua atau lebih tingkatan;disana kita harus menemukan norma pada tingkatan-tingkatan praturan hukum itu’’

   Norma hukum yang terdapat dalam hukum perdata atau pidana dapat ditemukan dengan mudah dalam pasal tertentu, misalnya ketentuan apa itu pembunuhan atau perjanjian, sementara untuk menemukan norma dalam hukum administrasi negara harus di cari dalam semua praturan perundang-undangan terkait sejak tingkat yang paling tinggi dan bersifat umum-abstrak sampai yang paling rendah yang bersifat individu-konkret. Menurut Indroharto, bahwa dalam suasana hukum atau usaha negara itu kita menghadapi bertingkat-tingkatnya norma hukum yang harus kita perhatikan. Artinya, peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu sejak kita temukan dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan tata usaha negara yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Lebih lanjut indroharto menyebutkan bahwa :
a.       Keseluruhan norma-norma hukum tata usah negara dalam masyarakat itu memiliki struktur bertingkat dari yang sangat umum yang dikandungn dalam Tap MPR, UU, dan sterusnya sampai pada norma yang paling individual dan konkret yang dikandung dalam penetapan tertulis (beschikking) jadi suatu penetapan tertulis itu juga dapat mengandung suatu norma hukum seperti halnya pada suatu peraturan bersifat umum
b.      Pembentukan norma-norma hukum tata usaha negara dalam masyarakat itu tidak hanya dilakukan oleh pembuat undang-undang(kekuasaan legislatif) dan badan-badan peradilan saja tetapi juga oleh aparat pemerintah dalam hal ini badan atau jabatan tata usaha negara.
2. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan merupakan hukum yang in abstracto atau general norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum. Secara teoritis, istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung) mempunyai dua pengertian, yaitu:
1. Peraturan perundang-undangan yang merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik ditingkat pusat maupun daerah.
2. Peraturan perundang-undangan yang merupakan segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Istilah perundang-undangan secara harfiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusian ataupun delegasian undang-undang. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-undangan, maka yang tergolong peraturan perundang-undangan di negara kita ialah undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah daripadanya seperti; Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden (Kepres) yang berisi peraturan, Keputusan Menteri (Kepmen) yang berisi peraturan, dan Keputusan-keputusan lain yang berisi peraturan (Hamid Attamimi, 1992: 3).
Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Peraturan perundang-undangan bersifat umum dan komprehensif
2. Peraturan perundang-undangan bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkritnya
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri.
Sedangkan menurut beberapa undang-undang, peraturan perundang-undangan diartikan sebagai:
1. Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No 5 Tahun 1986 mengartikan peraturan perundang-undangan sebagai semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga mengikat umum.
2. Pasal 1 angka 2 UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengartikan peraturan perundang-undangan sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
Berdasarkan kualifikasi norma hukum diatas, peraturan perundang-undangan bersifat umum-abstrak, yang dicirikan oleh:
1. Tidak hanya berlaku pada saat tertentu;
2. Tidak hanya berlaku pada tempat tertentu;
3. Tidak hanya berlaku pada orang tertentu;
4. Tidak hanya ditujukan pada fakta hukum tertentu, tetapi untuk berbagai fakta hukum yang dapat berulang-ulang.
Dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state) sebagaimana sudah disinggung dalam Bab III, tugas pemerintah tidak hanya terbatas untuk melaksanakan undang-undang yang telah dibuat oleh lembaga legislatif. Dalam perspektif welfare state, pemerintah dibebani kewajiban untuk menyelenggarakan kepentingan umum atau mengupayakan kesejahteraan sosial, yang dalam menyelenggarakan kewajiban itu pemerintah diberi kewenangan untuk campur tangan dalam kehidupan masyarakat, dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum. Bersamaan dengan kewenangan untuk campur tangan tersebut, pemerintah juga diberi kewenangan untuk membuat dan menggunakan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan membuat peraturan perundang-undangan seharusnya menjadi ranah wilayah lembaga legislatif kalau kita berpedoman kepada ajaran Trias Politika, tetapi menurut Bagir Manan (1995: 335) ada beberapa alasan yang menjadi dasar diberikannya kewenangan membuat peraturan perundang-undangan kepada eksekutif (pemerintah), yaitu:
a. Paham pembagian kekuasaan lebih menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan organ yang terdapat dalam ajaran pemisahan kekuasaan. Dengan demikian, fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan.
b. Paham yang memberikan kekuasaan pada negara atau pemerintah untuk mencampuri kehidupan masyarakat, baik sebagai negara kekuasaan atau negara kesejahteraan. Paham ini memerlukan instrumen hukum yang akan memberikan dasar bagi negara atau pemerintah untuk bertindak.
c. Untuk menunjang perubahan masyarakat yang berjalan makin cepat dan kompleks diperlukan percepatan pembentukan hukum. Hal ini mendorong administrasi negara untuk berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
d. Berkembangnya berbagai jenis peraturan perundang-undangan baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah.
3.   Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara
Di Belanda istilah Ketetapan atau Keputusan disebut dengan istilah Beschikking (Van Vollenhoven). Di Indonesia kemudian istilah Beschikking ini ada yang menterjemahkan sebagai ‘Ketetapan’ (Bagir Manan, Sjachran Basah, Indroharto dll), ada juga yang menterjemahkan dengan ‘Keputusan’ (Philipus M. Hadjon, SF. Marbun dll).
Dikalangan para sarjana terdapat perbedaan pendapat dalam mendefenisikan istilah ketetapan (beschikking), menurut J.B.J.M Ten Berge (1996: 156) beschikking didefinisikan sebagai :
1. Keputusan hukum publik yang bersifat konkret dan individual: keputusan itu berasal dari organ pemerintahan yang didasarkan pada kewenangan hukum publik.
2. Dibuat untuk satu atau lebih individu atau berkenaan dengan satu atau lebih perkara atau keadaan.
3. Keputusan itu memberikan suatu kewajiban pada seseorang atau organisasi, memberikan kewenangan atau hak pada mereka
Menurut Utrecht ( 1988: 94), beschikking diartikan sebagai perbuatan hukum publik bersegi satu (yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa). Sedangkan menurut WF. Prins dan R Kosim Adisapoetra (1983: 42) beschikking adalah suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan yang dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan wewenang yang luar biasa.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, tampak ada beberapa unsur yang terdapat dalam beschikking, yaitu:
1. Pernyataan kehendak sepihak
2. Dikeluarkan oleh organ pemerintah
3. Didasarkan pada kewenangan hukum yang bersifat publik
4. Ditujukan untuk hal khusus atau peristiwa kongkret dan individual
5. Dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum
Sedangkan berdasarkan UU No 5 Tahun 1986 jo UU No 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, penetapan (dalam undang-undang itu disebut Keputusan Tata Usaha Negara) diartikan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan definisi tersebut tampak bahwa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
- Penetapan tertulis bukan hanya dilihat dari bentuknya saja tetapi lebih ditekankan kepada isinya, yang berisi kejelasan tentang:
a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;
b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan tersebut; dan
c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa sebuah memo atau nota pun kalau sudah memenuhi ketiga kreteria diatas dapat dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
- Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN. Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun.
- Berisi tindakan Hukum TUN
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN.
- Berdasarkan Peraturan perundang-undangan; yang dimaksud adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum, yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara , baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah yang juga mengikat secara umum (Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
- Bersifat konkret diartikan obyek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Misalnya; Keputusan mengenai Pembongkaran rumah Dewi Setyawati, Ijin Mendirikan Bangunan bagi Komang Sriwati, atau Surat Keputusan Pemberhentian dengan Hormat Ketut Kaplug sebagai Pegawai Negeri. Dengan kata lain wujud dari keputusan tersebut dapat dilihat dengan kasat mata, namun terhadap ketentuan ini ada pengecualian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang berbunyi:
(1) Apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan TUN;
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud;
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dalam ayat (2), maka setelah lewat waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
- Bersifat individual, diartikan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari satu orang, maka tiap-tiap individu harus dicantumkan namanya dalam keputusan tersebut.
- Bersifat final, diartikan keputusan tersebut sudah definitif , keputusan yang tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain, karenanya keputusan ini dapat menimbulkan akibat hukum.
- Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti:
a. Menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada (declaratoir);
b. Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (constitutief)
c. 1. Menolak untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada.
2. Menolak untuk menimbulkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (Amrah Muslimin, 1985: 118-119)
4. Peraturan Kebijaksanaan
Keberadaan peraturan kebijaksanaan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas (vrijebevoegdheid) dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freies ermessen. Freies Ermessen berasal dari kata Frei yang artinya bebas, lepas, tidak terikat dan merdeka, Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga dan memperkirakan. Sehingga Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkasn sesuatu.
Dalam kaitannya dengan pemerintahan Freies Ermessen diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang (Marcus Lukman, 1996: 205)
Meskipun pemberian Freies Ermessen kepada pemerintah merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state, tetapi dalam kerangka negara hukum, Freies Ermessen tidak dapat digunakan tanpa batas. Atas dasar itu, Sjachran Basah (1992: 151) mengemukakan unsur-unsur Freies Ermessen dalam suatu negara hukum, yaitu;
a. Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik;
b. Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara;
c. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum
d. Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri
e. Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba
f. Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan YME maupun secara hukum .
Disamping itu penggunaan Freies Ermessen tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaidah hukum positif) dan hanya ditujukan demi kepentingan umum.
Freies Ermessen ini kemudian menjadi asal muasal lahirnya peraturan kebijaksanaan, yang mengandung dua aspek, yaitu:
1. Kebebasan menilai yang bersifat obyektif, yaitu kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya;
2. Kebebasan menilai yang bersifat subyektif, yaitu kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki administrasi negara itu dilaksanakan.
Menurut Philipus M. Hadjon (1994:152), peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “naar buiten gebracht schricftelijk beleid”, yaitu menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis.
Sebagaimana pembuatan dan penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu harus memerhatikan beberapa persyaratan, pembuatan dan penerapan peraturan kebijaksanaan juga harus memerhatikan beberapa persyaratan. Menurut Indroharto, perbuatan peraturan kebijaksanaan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresionari yang dijabarkan itu
2. Tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat
3. Harus dipersiapkan dengan cermat
4. Isi dari kebijaksanaan harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari warga yang terkena peraturan itu
5. Tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan mengenai kebijaksanaan yang akan ditempuh harus jelas
6. Harus memenuhi syarat kepastian hukum material
Menurut Van Kreveld, J.H (1983: 9-10) ciri-ciri dari peraturan kebijaksanaan adalah sebagai berikut:
1. Peraturan itu tidak ditemukan dasarnya dalam undang-undang
2. Peraturan itu bisa berbentuk tertulis, bisa juga berbentuk tidak tertulis
3. Peraturan itu memberikan petunjuk secara umum
Secara umum fungsi dari peraturan kebijaksanaan adalah sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan sehingga tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan, sering disebut dengan istilah “perundang-undangan semu”. Fungsi tersebut kalau dirinci adalah sebagai berikut:
1. Sebagai sarana pengaturan yang melengkapi, menyempurnakan, dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan perundang-undangan;
2. Sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vakum peraturan perundang-undangan
3. Sebagai sarana pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak, benar, dan adil dalam peraturan perundang-undangan
4. Sebagai sarana pengaturan untuk mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan jaman
5. Bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi di bidang pemerintahan dan pembangunan yang bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaruan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi
6.   Perizinan
Tidaklah mudah memberikan definisi apa yang dimaksud dengan izin, hal ini disebabkan karena antara para pakar tidak terdapat persesuaian paham, masing-masing melihat dari sisi yang berlainan terhadap obyek yang didefinisikan. Sukar memberikan definisi bukan berarti tidak terdapat definisi, bahkan ditemukan sejumlah definisi yang beragam, diantaranya:
a. Menurut Sjachran Basah (1995:3), izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Menurut Bagir Manan (1995:8), izin merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.
Disamping itu ada beberapa istilah yang hampir sama dengan izin, yaitu sebagai berikut:
1. Dispensasi; yaitu tindakan pemerintah yang menyebabkan suatu peraturan undang-undang menjadi tidak berlaku bagi sesuatu hal yang istimewa.
2. Konsesi; yaitu suatu izin yang berhubungan dengan pekerjaan yang besar, dimana kepentingan umum terlibat erat sekali sehingga sebenarnya pekerjaan itu menjadi tugas dari pemerintah, tetapi oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada konsesionaris (pemegang ijin)
3. Lisensi; yaitu suatu izin yang memberikan hak untuk menyelenggarakan suatu perusahaan.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disebutkan bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dari pengertian tersebut, ada beberapa unsur dalam perizinan, yaitu sebagai berikut:
1. Berupa instrumen yuridis dalam bentuk KTUN;
2. Dibuat berdasarkan wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau berdasarkan diskresionare power;
3. Dikeluarkan oleh organ pemerintah;
4. Ditujukan pada peristiwa konkret;
5. Telah memenuhi prosedur dan persyaratan tertentu.
Dari unsur-unsur tersebut terlihat bahwa izin merupakan instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkret. Sebagai suatu instrumen, izin berfungsi selaku ujung tombak dari instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang masyarakat sehingga terwujud masyarakat adil dan makmur. Tujuan tersebut, dapat dirinci sebagai berikut:
1. Untuk mengendalikan aktifitas-aktifitas tertentu;
2. Untuk mencegah bahaya bagi lingkungan;
3. Untuk melindungi obyek-obyek tertentu;
4. Untuk membagi benda-benda yang sedikit; dan
5. Untuk memberikan pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktifitas-aktifitasnya.
7. Instrumen Hukum Keperdataan
Pemerintah dalam melakukan kegiatannya sehari-hari tampil dengan dua kedudukan, yaitu sebagai wakil dari badan hukum (pelaku hukum keperdataan) dan wakil dari jabatan pemerintahan (pelaku hukum publik). Selaku pelaku hukum keperdataan yang melakukan berbagai perbuatan hukum keperdataan seperti mengikatkan perjanjian jual beli, sewa menyewa, pemborongan dan sebagainya yang dijelmakan dalam kualitas badan hukum. Dalam posisi ini kedudukan pemerintah tidak ada bedanya dengan seseorang atau badan hukum perdata pada umumnya, yaitu diatur dan tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum keperdataan.
Penggunaan instrumen hukum keperdataan ini adalah untuk mengusahakan kesejahteraan (bestuurszorg), dimana pemerintah terlibat dengan kegiatan kemasyarakatan dalam berbagai dimensi sejalan dengan tuntutan perkembangan kemasyarakatan.
Namun demikian, penggunaan instrumen hukum keperdataan oleh pemerintah ini perlu dibatasi, yaitu:
1. Pemerintah tidak dapat melakukan hubungan keperdataan yang berhubungan dengan hukum kekeluargaan;
2. Pemerintah tidak boleh membeli tanah untuk dijadikan hak milik;
3. Pemerintah tidak diperkenankan melakukan perbuatan hukum keperdataan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dilarang oleh peraturan perundang-undangan
Hubungan hukum dalam bidang keperdataan bersifat dua pihak atau lebih (meerzijdige), bersandar pada prinsip otonomi dan kebebasan berkontrak (contractsvrijheid) dalam arti kemerdekaan atau kemandirian penuh bagi subyek hukum untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum, serta iktikad baik dalam berbagai persetujuan, yang menunjukkan kesetaraan antarpihak tanpa salah satunya memiliki kedudukan khusus dan kekuatan memaksa terhadap pihak lain. Atas dasar ini pemerintah hanya dapat mensejajarkan diri dengan seseorang atau badan hukum perdata dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum publik, bukan dalam kapasitasnya selaku wakil jabatan pemerintahan yang memiliki kedudukan istimewa.
Bentuk-bentuk perjanjian yang bisa dijalankan pemerintah dengan pihak lain adalah:
1. Perjanjian perdata biasa; contoh: jual beli, sewa-menyewa dan lain-lain
Perbuatan keperdataan ini dilakukan karena pemerintah memerlukan berbagai sarana dan prasarana untuk menjalankan administrasi pemerintahan, seperti: kebutuhan alat tulis menulis yang harus dibeli, membeli tanah untuk perkantoran, perumahan dinas dan lain sebagainya.
2. Perjanjian perdata dengan syarat-syarat standar, contoh: kontrak adhesie
Pemerintah dapat pula menggunakan instrumen hukum keperdataan untuk membuat perjanjian dengan pihak swasta dalam rangka melakukan tugas-tugas tertentu, misalnya tugas-tugas atau pekerjaan yang tidak sepenuhnya dapat diselenggarakan sendiri oleh pemerintah. Bentuk dari perjanjian ini dapat berupa kontrak adhesie, yaitu suatu perjanjian yang seluruhnya telah disiapkan secara sepihak hingga pihak lawan berkontraknya tidak ada pilihan lain kecuali menerima atau menolaknya.
3. Perjanjian mengenai kewenangan publik
Perjanjian mengenai kewenangan publik adalah perjanjian antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan warga masyarakat dan yang diperjanjikan adalah mengenai cara badan atau pejabat tata usaha negara tersebut menggunakan wewenang pemerintahannya.
4. Perjanjian mengenai kebijaksanaan pemerintahan.
Kewenangan luas yang dimiliki pemerintah atas dasar freies ermessen, yang kemudian melahirkan kebijaksanaan dimungkinkan pula dijalankan dengan menggunakan perjanjian. Dengan kata lain, pemerintah dapat menjadikan kewenangan luas atau kebijaksanaan yang dimilikinya sebagai obyek dalam perjanjian. Perjanjian seperti ini dikenal dengan perjanjian kebijaksanaan (beleidsovereenkomst), yaitu perbuatan hukum yang menjadikan kebijaksanaan publik sebagai obyek perjanjian.